TANAMAN INDIGO SEBAGAI PEWARNA ALAMI


1.     Perkembangana Bahan Pewarna Alami
Teknologi penggunaan zat pewarna buatan yang "canggih" dan "jitu" dibandingkan dengan teknologi zat pewarna alam nenek moyang kita dahulu, ternyata tidak kalah "canggih" dan "jitu" karena zat pewarna alami menghasilkan produk non karsinogen, ramah lingkungan yang menjadi bahan pertimbangan untuk mencari celah-celah mengatasi krisis moneter yang berkepanjangan (Patmasari, 1999). Pewarna alam mulai bergeser penggunaannya sejak tahun 1800-an, yaitu setelah ditemukannya cara sintesa pewarna secara kimiawi, seperti sintesa indigo pada tahun 1897. Keunggulan dari pewarna sintetis adalah harganya lebih murah karena dapat diproduksi secara masal dan memiliki sifat lebih tahan luntur.
Berkembangnya produksi indigo sintetis menyebabkan penggunaan indigo alam oleh industri tekstil menurun. Tahun 1914 konsumsi indigo alam di dunia hanya 4 %,bahkan dalam industri makanan sekarang ini 90% pewarna yang digunakan adalah pewarna sintetis.
Dewasa ini tuntutan pasar pada pewarna yang digunakan dalam industri makanan,minuman, kosmetika, tekstil dan kerajinan sangatlah terkait dengan keamanan konsumen dan keramahan lingkungan. Pewarna yang diedarkan harus diuji dulu tingkat keamanannya oleh FAO/WHO Codex Alimentarius Commision dan Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA).
Faktor-faktor yang menjadi penilaian bahan pewarna baik ialah penetapan spesifikasi yang jelas, melakukan studi-studi biologis seperti acute toxicity studies, short and long term feeding studies, metabolic studies dan upaya mengetahui kemungkinan pengaruh mutagenic dan reaksi hipersensitifitas.
Pasar internasional saat ini cenderung membangkitkan kembali penggunaan
warna-warna alam, hal ini karena pewarna alam umumnya biodegradable dan proses produksinya ramah lingkungan dan sesuai dengan tuntutan masyarakat, terutama dari negara-negara maju, yang lebih menghendaki produk-produk yang aman dan ramah lingkungan.
 Indonesia memiliki kekayaan alam yang tinggi, dengan kekayaan tersebut sangatlah memungkinkan bagi bangsa Indonesia untuk memberdayakan kembali potensi warna-warna alam yang lebih diarahkan bagi pewarnaan barang-barang kerajinan, tekstil (terutama batik), makanan-minuman, dan produk yang mempunyai kontak yang sangat dekat dengan manusia, dengan prospek pemasaran ekspor sehingga dapat meningkatkan taraf hidup rakyat.
Untuk membangkitkan kembali minat penggunaan warna alam tidaklah semudah membalik telapak tangan, banyak permasalahan yang harus diatasi, permasalahan-permasalahan yang ada antara lain: zat warna alam sulit untuk dapat diproduksi dalam skala industri, warnanya terbatas, intensitas warna tidak stabil dan tidak mudah diproduksi kembali, ketahanan lunturnya kurang baik sehingga perlu proses penyempurnaan, pada proses pencelupan untuk tekstil dan produk tekstil masih memerlukan zat pembangkit untuk memberikan warna tertentu dan proses pencelupan harus dilakukan berulang-ulang (tidak efisien), dan sumber daya alam sebagai bahan baku zat warna tersebut belum dibudidayakan secara serius, sehingga kadang-kadang masih berebut dengan kebutuhan yang lain (misal:makanan, obat-obatan dan lain-lain).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas saat ini sangat sulit karena biaya untuk mengisolasi zat warna alam murni dibutuhkan biaya sangat mahal, langkah-langkah yang harus dilalui masih cukup panjang, dan teknologi yang dipaergunakan cukup canggih sehingga masih sulit untuk diterapkan pada industri kecil, sedang kebutuhan zat warna alam sangat mendesak.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam usaha mengatasi masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut: litbang aplikasi praktis penggunaan sumber daya alam tubuh-tumbuhan untuk pewarnaan berbagai jenis produk (makanan, kulit, tekstil dan lain-lain), puderisasi pewarna alam, pembuatan alat puderisasi serta isolai zat warna alam dari sumber daya alam tumbuh-tumbuhan, pengkajian pemakaian puder (serbuk) pewarna alam yang dihasilkan, perbaikan cara puderisasi secara terus menerus, perlu upaya yang lebih sistematis dalam rangka mengembangkan potensi pewarna alam, mulai pendataan, ekstraksi dan isolasi sampai pemasyarakatan hasil litbang, perlu koordinasi semua pihak yang terkait didalam negeri dan luar negeri, perlu studi mengenai permintaan terhadap zat warna alam di dalam negeri dan luar negeri, dilakukan budidaya tanaman penghasil zat warna secara agroforestry, dan adanya sentuhan bioteknologi (kultur jaringan) dalam rangka penyediaan bibit unggul dalam jumlah besar (Patmasari, 1999).

2. Indigofera sebagai Bahan Pewarna Alami
A. Asal usul dan penyebaran geografis
Marga Indigofera (tanaman nila) yang besar (kira-kira 700 jenis) tersebar di seluruh wilayah tropika dan subtropika di Asia, Afrika dan Amerika sebagian besar jenisnya tumbuh di Afrika dan Himalaya bagian selatan. Kira-kira 40 jenis asli Asia Tengara, dan banyak jenis lainnya telah diintroduksikan ke wilayah ini. Banyak jenisnya yang telah dibudidayakan di seluruh wilayah tropika. Indigofera arrecta adalah tumbuhan asli Afrika Timur dan Afrika bagian selatan, serta telah diintroduksikan ke Laos, Vietnam, Filipina (Luzon), dan Indonesia (Sumatera, Jawa, Sumba, Flores). Kedua anak jenis dariIndigofera suffruticosa berasal dari Amerika tropika, dan di daerah-daerah tertentu di Jawa dibudidayakan. Indigofera tinctoria mungkin berasal dari Asia, tetapi kini tersebar di seluruh wilayah pantropik.
Di Nusantara bahan indigo disamping dari tanaman Marsdenia tinctoria R. BR, dari suku Asclepiadaceae, hanya dihasilkan dari daun berasal dari beberapa jenis tanaman yang masuk marga indigofera. Mengenai pengolahan dan budidaya indigo kering yang terutama digunakan untuk pasaran Eropa, sedang mengenai Indigo basah yang terutama digunakan dari dua jenis bahan tersebut tidak begitu banyak harapan.
 B. Manfaat dan kegunaan
Indigofera dimanfaatkan secara luas sebagai sumber pewarna biru, tarum, di seluruh wilayah tropika. Jenis-jenis ini juga dianjurkan untuk ditanam sebagai tanaman penutup tanah dan sebagai pupuk hijau, khususnya di perkebunan-perkebunan teh, kopi, karet. Daun Indigofera arrecta dan Indigofera tinctoria digunakan dalam pengobatan tradisional untuk menyembuhkan penyakit ayan dan gangguan syaraf, juga untuk luka dan borok.
 C. Kandungan kimia
Daun Indigofera arrecta mengandung : N 4,46 %; P2O5 0,02 %; K2O 1,95 %; CaO 4,48 % dan Indigofera tinctoria : N 5,11 %;, P2O5 0.78 %; K2O 1,67 %; CaO 5,35 % ( menurut bobot keringnya)
 D. Sifat Kimia
Tanaman Indigofera mengandung glukosida indikan. Setelah tanaman ini direndam di dalam air, proses hidrolisis oleh enzim akan mengubah indikan menjadi indisil (tarum-putih) dan glukosa. Indoksil dapat di oksidasi menjadi tarum – biru. Banyak jenisnya yang mengandung senyawa –senyawa organik nitro yang beracun. Walaupun demikian, disebutkan bahwa Indigofera tinctoria dapat dimakan ternak.
 E. Sistematika
1). Botani
Klasifikasi
Divisi                  : Spermatophyta
Sub divisi            : Angiospermae
Kelas                 : Dicotyledonae
Bangsa              : Rosales
Suku                  : Leguminosae
Marga                : Indigofera
Jenis                  : Indigofera arrecta L.
Jenis-jenis utama dan sinonim:
-          Indigofera arrecta Hochst.ex A. Ric, Tent, F1 Abys, 1; 184 (1847); Indigofera suffruticosa Miller ssp. Suffruticosa, Gard. Diet, ed .8, No. 2 (1768), sinonim : I. Anil L (1771);
-          Indigofera suffruticosa Miller ssp. Guatemalensis (Mocino, Sesse & Cerv, ex Backer) de Kort & Thijase, Blumea 30 : 135 (1984), sinonim Indigofera guatemalensis Mocino, Sesse & Cerv.ex Backer (1908);
-          Indigofera tinctoria L. Sp.pl.2 : 751 (1753), sinonim : Indigofera Sumatrana Gaertner (1971)
 Nama umum dagang Nila
Nama daerah umum (Inggris) : indigo, Indonesia : tom, tarum. Malaysia : tarom Filipina : anil. Thaliland : kharam. Vietnam : cham.
-          I. Arrecta Inggris : Natal –indigo, Bengal-indigo, Java-indigo, Indonesia : tom atal, tom tatemas (Jawa).
-          I. Suffruticosa ssp. Suffrucosa : Indonesia : taem –taem, tagom-tagom, toma cantik. Filipina : tina-tinaan(Tagalog), tayum (Bisaya, Ilokano). Thailand : khraam-thuean (Shan- Chiang Mai), khraam yai (Ubon Rachathani)
-          I. Suffrucosa ssp. Guatemalensis. Inggris : Guatemala indigo. Indonesia : tom presi.
-          I. Tinctoria Inggris : common indigo, Indian indigo. Indonesia : tom jawa, tarum alus, tom kayu. Malaysia : nila, tarum. Filipina : tagung-tagung (Bisaya), taiom (Ilokano), taiung (pampango). Kamuchea : trom. Laos khaam. Thailand : khraam (umum), na-kho (Karen, Mae Hong Son). Vietnam : cham, cham Nhuom.
2). Deskripsi
 Marga indigofera Mencakup perdu Habitus Perdu kecil, dan terna.
-          Batang: Berkayu di bagian pangkal batangnya, dengan percabangan yang tegak atau memancar, tertutup indumentum yang berupa bulu-bulu bercabang dua. Daun Daun: berseling, biasanya bersirip ganjil, kadang-kadang beranak daun tiga atau tunggal.
-          Bunga : Bunga-bunganya tersusun dalam suatu tandan di ketiak daun, bertangkai; daun kelopaknya berbentuk genta bergerigi lima; daun mahkotanya berbentuk kupu-kupu.
-          Buah : Umumnya bertipe polong , berbentuk pita (pada beberapa jenis hampir bulat), lurus atau bengkok, berisi 1 - 20 biji yang kebanyakan bulat sampai jorong. Semainya dengan perkecambahan epigeal, keping bijinya tebal, cepat rontok.
-          Akar : Tunggang.
  Jenis Indigofera adalah :
-          Indigofera arrecta : Berawakan perdu besar, tingginya mencapai 3 m, sering dibudidayakan sebagai tanaman setahun, dengan bunga panjangnya kira-kira 5 mm dan polongnya 2-2,5 cm, berisi 6-8 biji.
-          Indigofera suffruticosa : berperawakan perdu, tingginya sampai 2,5 m, ssp dengan bunga panjang 5 mm dan polongnya yang bengkok berisi 6-8 biji.
-          Indigofera suffruticosa : memiliki ukuran bunga yang lebih kecil (3 mm) dan ssp guatemalensis polong yang lurus, berisi 1-3 biji.
-          Indigofera tinctoria : berperawakan perdu kecil (sampai 1 m tingginya) dengan bunga yang panjangnya 5 mm, polongnya lurus atau sedikit bengkok, berisi 7-12 biji.

F. Teknik Budidaya Tanaman
1). Persyaratan tumbuh
Jenis-jenis Indigofera dapat tumbuh dari 0 meter sampai 1.650 m diatas permukaan laut, dan tumbuh subur di tanah gembur yang kaya akan bahan organik. Sebagai tanaman penghasil pewarna, indigofera ditanam di dataran tinggi dan sebagai tanaman sekunder ditanah sawah. Lahan sebaiknya berdainase cukup baik.
Jika digunakan sebagai tanaman penutup tanah, Indigofera arrecta hanya dapat ditanam di kebun dengan sedikit naungan atau tanpa naungan. Jenis ini menyenangi iklim yang panas dan lembab dengan curah hujan tidak kurang dari 1.750 mm/tahun. Tanaman ini mampu bertahan terhadap pengenangan selama 2 bulan.
Indigofera tinctoria tidak toleransi terhadap curah hujan tinggi dan penggenangan. Dalam keadaan tumbuh secara alami atau miliar, jenis-jenis tarum dijumpai di tempat-tempat terbuka dengan sinar matahari penuh, misalnya lahan-lahan telantar, pinggir jalan, pinggir sungai, dan padang rumput, kadang-kadang sampai ketinggian 2.000 meter diatas permukaan laut.
Pada umumnya penduduk asli menam indigo pada umumnya di tanah tegalan, maupun di sawah, disawah diusahakan sebagai tanaman palawija setelah panen padi.
   2). Perbanyakan tanaman
Perkembangan biakan tanaman indigofera adalah dengan biji, kecuali Indigofera suffruticosa yang dapt dibiakkan dengan setek. Untuk mencegah kerusakan oleh serangga, biji –biji dapat diberi perlakuan dengan abu dapur sebelum ditabur. Biji Indigofera arrecta memiliki kulit yang keras dan perlu dikikir.
Juga dapat diperbanyak dengan stek indigo yang digunakan adalah cabang-cabang yang paling baik pertumbuhannya, terutama pada lahan yang sudah menghasilkan/produksi. Pemotongan perlu dilakukan dengan pisau yang tajam dan untuk enghindari memar/sobek, maka pada waktu pemotongan menjadi bahan tanaman/stek yang panjangnya + 30 cm.
Bahan yang akan dipotong dengan tangan , stek –stek tersebut tidak segera ditanam tetapi diikat dibiarkan selama 1 sampai 3 hari tempat yang teduh/dingin dengan ujung stek diletakkan diatas. Setelah permukaan pepotongan kering barulah stek dapat ditanam di lapangan.
3). Penamanan
Setelah lahan/tegalan satu atau beberapa kali dibajak atau dicangkuli, maka ditanam stek indigo dengan jarak antara 60 cm dan dalam barisan 60 -90 cm, untuk lain-lain indigo 45 – 60 cm.Untuk mengalirkan air hujan pada tiap jarak 360 cm dibuat saluran drainase untuk pembuangan air. Jika penanaman dengan biji maka dapat langsung ditanam di lapangan, tiap lubang diisi 3 atau 4 butir biji, cara lain membuat pesemaian lebih dahulu. Perkecambahan di pesemaian memakan waktu 4 hari. Jika digunakan pesemaian , bibit dapat dipindahkan ke pertanaman pada umur 4 – 6 minggu.
Sedangkan penanaman di lapangan dengan stek sebanyak 2 – 3 stek per lubang. Setelah 2 minggu kemudian mulai tampak tuna-tunas yang keluar dari stek.
 4). Pemeliharaan
Setelah tanaman berumur 1 bulan dan kelihatan hijau segar maka dapat dilakukan penyulaman dan penyiangan, pada waktu yang sama barisan-barisan dibumbun. Satu bulan kemudian dilakukan penyiangan ke 2 kali dan tanah pada waktu tersebut dibuat gembur serta barisan dibumbunlagi sehingga terjadi guludan yang lebih tinggi. Pada akhir umur 4 bulan atau permulaan 5 bulan setelah terjadi tanaman menutup tanah, saatnya untuk dipotong. Pada umumnya, waktu ini jatuh bersamaan dengan pembungaan yang banyak. Sebagai tanaman penutup tanah batangnya dipotong pada jangka waktu yang teratur.
 5). Pemberantasan hama dan penyakit:
Indigofera arrecta dapat diserang oleh Bacillus solanaceaarum. Di JawaIndigofera tinctoria tidak rentan terhadap hama dan penyakit, tetapi setelah terjadi lignifikasi di wilayah yang lembab, jenis ini dapat terserang berbagai jenis jamur dan serangga, oleh nematoda Heterodera glycines.
6). Panen
Kalau daun indigofera yang warnanya sudah warna hijau tua merata mulai layu dan mulai menguning maka hasil indigofera menjadi kurang. Cara menentukan waktu panen memang sulit. Berdasarkan para pengusaha /petani yang berpengalaman menentukan waktu panen berdasarka >warna daun dan pada bau daun kalau diremas – remas dengan jari. Cabang-cabang pohon dipanen, biasanya pada pagi hari, ketika tanaman berumur 4-5 bulan dan telah membentuk tegakan yang rapat.
Saat itu biasanya merupakan stadium berbunga. Kira-kira 3-4 bulan kemudian tanaman dapat dipotong lagi.; tanaman tarum dapat dipanen 3 kali dalam setahun. Masa hidup tanaman sebagai penghasil pewarna adalah 2-3 tahun, dan sebagai penutup tanah 1,5-2 tahun. Tarum hanya dapat dipanen sekali jika ditanam disawah, sebab tanaman ini harus memberi ruang pada tanaman padi berikutnya.
 7). Penanganan pasca panen
Cabang-cabang yang telah di panen disimpan dalam tangki berisi air, yang telah diberi beberapa butir kapur dan diberati dengan papan agar tenggelam. Setelah terjadi fermentasi selama beberapa jam, yang selama itu hidrolisis melalui enzim akan menyebabkan pembentukan indoksil, cairannya dibuang, kemudian diaduk-aduk selama beberapa jam untuk mendorong oksidasi indoksil.
Setelah itu larutan dibiarkan, dan bagian tarum yang tidak dapat larut akan mengendap ke dasar tangki berupa lumpur kebiru-biruan. Airnya dibuang, dan setelah tarum mengering, dipotong-potongmenjadi balok-balok kecil atau dibuat bulat-bulatan. Untuk mewarnai tektil, tarum direduksi menjadi bentuk yang dapat larut melalui proses frmentasi dalam lingkungan basa.

G. Pengelolaan Hasil
1). Cara pengolahan adalah sebagai berikut :
Cabang-cabang kecil yang telah dipotong, pada pengolahan yang hati-hati telah dipisahkan dari cabang yang berkayu, diletkkan dalam bejana kayu/tanah atau dalam bak tembok. Pada tempat tersebut terdapat campuran kapur dan air. Kumpulkan dan ditekan dengan papan yang ditidih dengan batu, perlakuan ini dijalankan demikian rupa hingga atasnya terdapat 1 kaki lapisan air. setelah beberapa jam gelembung-gelembung udara naik ke atas prmukaan air kemudia akhirnya cairan tersebut mengalami peragian. Di perusaaan orang Eropa setelah terjadi peragian maka ekstrak bahan tersebut kemudian dialirkan karena fermentasi mempunyai pengaruh jelek terhadap hasilakhirnya, pengaruh jelek ini mengenai jumlah dan mutu. Lmbat laun kekuatan proses ini menurun dan permukaan air tertutup dengan lapisan tipis, cairannya sendiri lambat laun berubah warnanya menjadi hijau tua. Kalau airnya telah memberi bau manis dan warnanya tidak lagi berubah maka cairannya dipindahkan ke bejana lain sedang daunnya kadang-kadang digunakan untuk memelihara beberapa jenis jamur yang enak dimakan. Cairan yang telah dipindhkan mengandung bahan uraian indoxyl dibentuk karena pengaruh enzima yang ada dalam daun yang berasal dari indicaan; karena oksidasi dari indoxyl terjadi indigoblauw yang tidak larut. Pemberian oksigen dikerjakan dengan selalu membuat cairan digerak-gerakkan, misalnya dengan menaik turunkan keranjang kecil yang bertangkai panjang atau dengan mengisi dan mengosongkan gayung kecil. Pekerjaan ini diteruskan sampai cairan tidak berbuih lagi, pada waktu tersebut warna menjadi kecoklt-coklatan. dalam proses pengolah ini diadakan waktu istirahat 12 jam dan juga selama 12 jam cairannya digerak-gerakkan hingga cairan itu tidak lagi berbuih. Kemudian bahan ini dibiarkan dan setelah 3 atau 4 jam, kadang-kadang lebih lama, indigonya mulai mengendap. Cairan yang ada di bagian atas pada umumnya dibuang, cairan ini berwarna kuning jerami dan baunya tidak enak; kadang-kadang cairan ini diberi air kapur untuk mendapatkan indigo (Departemen Pertanian, 2009).

2.     Prospek Pasar Indigofera
A. Prospek pengembangan tanaman nila
Tarum pernah dinyatakan sebagai ’ raja pewarna ’. Tidak ada tanaman pewarna lain yang terjalin sangat erat dengan kebudayaan seperti halnya tanaman tarum. Warna biru tua dari pewarna ini sangat disukai, dan sejarahnya menakjubkan serta berlangsung ribuan tahun.Walaupun demikian, penggunaan tarum yang berasal dari tumbuhan hampir habis dan hampir seluruhnya diambil alih oleh tarum sintetik (Departemen Pertanian, 2009).
Dalam tahun-tahun belakangan ini minat terhadap pewarna alami meningkat lagi di berbagai negara, tidak hanya karena kepedulian terhadap pencemaran lingkungan yang disebabkan yang disebabkan oleh industri-industri kimia penghasil pewrana dan adanya pengaruh berbahaya dari pewarna sintetik terhadap kesehatan, tetapi juga karena timbulnya kembalinya minat dalam kaitan antara pewarna dan kebudayaan. Diharapkan agar minat baru ini akan memperoleh landasan yang cukup cepat untuk melindungi tarum dari kepunahannya secara total sebagai tanaman budidaya tanaman di Asia Tenggara.

B. Produksi dan perdagangan dunia
Budidaya Indigofera secara besar-besaran dimulai dalam abad -16 di India dan Asia Tenggara. Kemudian, perkebunan –perkebunan besar juga dibangun di Amerika Tengah dan Amerika Serikat bagian selatan. Ekspor tarum ke Eropa sangat penting dan harus bersaing dengan pewarna dari ’woad’ (Isatis tinctoria L), yang dibudidayakan terutama Perancis, Jerman dan Inggris. Produksi tarum sintetik secara komersial yang dimulai digunakan pada tahun1897, terbukti membahayakan produksi tarum alami, dan menjelang tahun 1914 hanya 4 % dari keseluruh produksi dunia berasal dari pewarna nabati. Kini, tanaman tarum masih dibudidayakan untuk keperluan pewarna, tetapi hanya dalam skalakecil, yaitu di India ( di bagian utara Karnataka) dan di beberapa tempat di Afrika dan Amerika Tengah. Di Indonesia Indigofera masih dibudidayakan di beberapa desa pantai utara dan di seluruh wilayah Indonesia Timur, yang disana digunakan untuk mewarnai kain tradisional dan kain untuk keperluan upacara adat.
Sebagai bahan yang diusahakan di perkebunan besar terutama di Jakarta, daerah Yogyakarta dan Solo pada tahun 1920 diolah 202.071 kg indigo kering dan 288 kg indigo basah dari luas 3.102 bau (1.035,3 ha); pada tahun 1921 diolah 201.981 kg indigo kering dan 41.616 kg indigo basah dari luas tanah 3.793 bau (1.264 ha); pada tahun 1922 diolah 37.244 kg indigo kering dan 50.400 kg indigo basah dari luas tanah 1.726 bau ( 575 ha); pada tahun 1923 di perkebunan besar mendapatkan panen indigo 744 kg dengan luas tanah 285 bau (95 ha) dan tahun 1924 panen indigo 655 kg dengan luas tanah 285 bau (95 ha). Dapat dikemukakan bahwa persaingan antara bahan pewarna alamiah dan bahan pewarna buatan dimenangkan oleh indigo buatan tom werdi (Jawa). Bahan buatan ini telah demikian umum dipakai di kalangan perusahaan batik hingga sewaktu pada tahun 1914 pengiriman dihentikan, terjadi penghambatan pekerjaan perusahaan batik.
Berdasarkan surat dari 67 perusahaan batik yang menyatakan lebih senang menggunakan bahan indigo buatan dan tidak tahu menahu tentang bahan indigo alamiah. Sekiranya persediaan bahan indigo buatan cukup maka industri batik berdasarkan pertimbangan ekonomi tidak akan menggunakan bahan indigo buatan.
Zat Pewarna berasal dari inidigo saat ini belum dijual secara komersial, tetapi peminat zat pewarna olahannya cukup banyak. Tidak hanya pembeli lokal, peminatnya juga ada yang dari luar neger, seperti Jepang dan Korea.
Sayangnya produksi indigo saat ini terbatas. penyebabnya  adalah keterbatasan sumber daya. Dengan demikian, sampai saat ini indigo belum mampu memenuhi semua permintaa. Termasuk, permintaan pembeli dari Jepang dan Korea.
zat pewarna dari daun indigo, contohnya pewarna yang diberi nama Gama Indigo Natural Dye dijual dengan harga Rp 700.000 per kg/ Dus, dengan harga jual sebesar ini, dalam sebula meraup omzet Rp 70 juta.

Sumber:
[Departemen Pertanian]. 2009. Tanaman Nila

Previous
Next Post »